Beranda | Artikel
Bab Thaharah
Senin, 8 Juni 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Bab Thaharah merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 16 Syawal 1441 H / 08 Juni 2020 M.

Download kajian sebelumnya: Mukaddimah Kajian Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu

Kajian Tentang Bab Thaharah

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang fikih kitab thaharah. Dan kitab yang akan kita jadikan sebagai rujukan adalah Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu (صحيح فقه السنة وأدلته) yang ditulis oleh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim Hafidzahullahu Ta’ala.

Kita mempelajari kitab ini karena kitab ini memakai metode yang kemarin sudah saya singgung, yaitu metode menjelaskan hukum fikih kemudian mengaitkan hukum fikih tersebut langsung kepada dalilnya. Dan sudah saya sampaikan pada kesempatan yang telah lalu bahwa metode ini cocok bagi kebanyakan kaum muslimin yang keadaan mereka adalah awam dan kesempatan belajar fikih mereka biasanya sedikit.

Berbeda dengan orang-orang yang memang mempunyai waktu yang khusus untuk belajar fikih, maka lebih baik bagi mereka untuk mempelajari fikih secara bertahap dari mulai:

  • fikih dasar madzhab tertentu tanpa menjelaskan dalil sama sekali,
  • kemudian setelah itu mempelajari fikih mazhab tertentu dengan dalilnya,
  • kemudian mempelajari fikih madzhab tertentu dengan mengetahui perbedaan pendapat dalam madzhab tersebut,
  • kemudian setelah itu baru fikih muqaran atau mempelajari fikih dengan perbandingan mazhabnya.

Dan karena saya melihat kebanyakan kaum muslimin lebih membutuhkan untuk mempelajari fikih langsung dikaitkan dengan dalilnya, maka cara inilah yang ana ambil dalam kajian ini.

Memasuki kitab yang pertama kali dibahas oleh para ulama dalam kitab fikih biasanya mereka pertama kali membahas كتاب الطهارة “Kitab yang menjelaskan tentang bersuci”.

Kenapa ini didahulukan? Karena ini berkaitan dengan rukun Islam yang kedua, yaitu shalat. Orang yang shalat, maka shalatnya tidak akan sah kecuali apabila thaharah/bersucinya benar. Maka pembahasan bersuci biasanya didahulukan sebelum pembahasan shalat.

Apa yang dimaksud dengan thaharah?

Ath-Thaharah (الطهارة) dalam bahasa artinya adalah kebersihan. Yaitu bersihnya sesuatu dari kotoran. Inilah maksud dari thaharah dalam bahasa Arab.

Dan kotoran itu bisa berupa kotoran yang kasat mata, bisa berupa kotoran yang tidak kasat mata. Kotoran yang kasat mata seperti misalnya sesuatu yang najis, seperti kencing, kotoran manusia, kotoran hewan yang tidak halal dimakan, seperti darah haid, darah selain darah haid, ini adalah kotoran yang kasat mata.

Disana ada kotoran yang tidak kasat mata, seperti misalnya dosa, kemaksiatan, sifat-sifat buruk manusia, akhlak-akhlak buruk manusia, ini kotoran yang tidak kasat mata.

Bersihnya sesuatu dari kotoran (النظافة) itu mencakup kotoran-kotoran yang kasat mata dan kotoran-kotoran yang tidak kasat mata. Ini makna الطهارة di dalam bahasa Arab.

Adapun makna Ath-Thaharah dalam syariat Islam adalah:

رفع ما يمنع الصلاة من حديث أو نجاسة بالماء [أو غيره]

“Menghilangkan sesuatu yang menjadikan seseorang tidak boleh shalat baik berupa hadats ataupun berupa sesuatu yang najis, menghilangkannya dengan air atau dengan yang lainnya.”

Inilah hakikat dari thaharah dalam makna syar’i.

Perbedaan Hadats dan Najis

Hadats sebagaimana didefinisikan oleh sebagian ulama adalah:

وصفٌ قائمٌ بالبَدَنِ يمنَعُ مِنَ الصلاةِ ونحوِها، ممَّا تُشترَطُ له الطَّهارةُ

“Hadats adalah sifat yang melekat pada badan yang menjadikan badan tersebut tidak boleh melakukan ibadah shalat atau melakukan ibadah yang lainnya yang diharuskan bersuci di dalamnya.”

Inilah makna hadats. Hadats ini tidak najis secara kasat mata. Seperti misalnya orang kentut. Ketika seseorang kentut, kentutnya tidak najis dan orangnya juga dengan kentut tersebut tidak najis secara kasat mata. Tapi secara hukumnya dia dianggap sebagai orang yang najis sehingga tidak boleh shalat. Jadi kotornya adalah kotor yang tidak kasat mata.

Seperti misalnya lagi, orang yang memegang kemaluannya, memegang dzakarnya misalnya. Maka dikatakan dia menjadi kotor, ada hadats di situ. Tapi keadaan kotornya adalah keadaan kotor yang tidak kasat mata, kita tidak bisa melihatnya.

Hadats itu sifatnya tidak kasat mata. Berbeda dengan najis. Najis itu sifatnya kasat mata. Benar-benar bisa kita indra; bisa kita raba, bisa kita lihat, bisa kita cium, itu biasanya keadaan najis. Seperti misalnya -sudah saya sebutkan tadi- kencing. Kencing itu najis, bukan hadats. Ketika seseorang mengeluarkan kencing, maka kencingnya najis, keadaan dia menjadi hadats. Karena kencingnya kasat mata, keadaan dia yang kotor karena keluarnya kencing tersebut (walaupun kencingnya sudah dihilangkan), keadaan dia kotor tapi kotornya tidak kasat mata, itulah hadats.

Kencing najis, keluarnya kencing menyebabkan seseorang hadats. Makanya jangan sampai kita salah paham dalam masalah ini.

Ada sebagian orang mengatakan kalau orang menyentuh najis maka wudhunya batal. Mungkin dia menyamakan antara najis dengan hadats. Karena dia menyentuh maka tangannya menjadi kotor, misalnya. Kotor itu bisa masuk dalam kotor hadats atau kotor yang najis. Maka ini pemahaman yang tidak benar.

Kalau kita menyentuh air kencing, maka tangan kita menjadi najis, tapi keadaan kita tidak hadats, harus dibedakan antara dua hal ini. Hadats adalah keadaan seseorang yang tidak boleh shalat ataupun ibadah yang lainnya yang dia diharuskan untuk bersuci. Tapi sifatnya tidak kasat mata, dia berupa sifat atau keadaan.

Berbeda dengan najis. Kalau najis, dia menghalangi shalat tapi sifatnya kasat mata, bisa kita indra; bisa kita lihat, bisa kita raba, bisa kita cium, bisa dirasakan.

Thaharah dengan air atau selainnya

Menghilangkan sesuatu yang menjadikan seseorang tidak boleh shalat dengan air atau dengan yang lainnya. Jadi thaharah itu bisa dengan air, seperti misalnya kita wudhu dengan air. Selesai berwudhu maka hadats kecil akan terangkat. Mandi junub, ini termasuk diantara cara bersuci dengan air. Ketika seseorang mandi besar dengan air, maka hadats besarnya menjadi hilang.

Atau selain air juga bisa. Seperti misalnya pasir atau debu. Ketika seseorang dibolehkan untuk tayamum, maka itu bisa menghilangkan hadats kecil atau hadats besarnya seseorang.

Intinyanya adalah membersihkan sesuatu yang najis bisa dengan air atau bisa dengan yang lainnya. Begitu pula menghilangkan hadats, itu bisa dengan air, bisa dengan pngganti air.

Apa hukum thaharah?

Ketika membicarakan hukum thaharah, maka kita harus membagi thaharah menjadi dua, karena kotoran itu terbagi menjadi dua. Dan membersihkan kotoran akhirnya terbagi juga menjadi dua. Ada kotoran yang berupa najis, ada kotoran yang berupa hadats.

Bersuci dari kotoran yang berupa najis diwajibkan ketika seseorang ingat dan dia mampu untuk menghilangkan kotoran tersebut. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ﴿٤﴾

Maka bersihkanlah bajumu.” (QS. Al-Muddatsir[74]: 4)

Ini salah satu dari penafsiran ayat ini. Kalau kita mengambil penafsiran ini, berarti bersihkanlah bajumu dari kotoran-kotoran yang menjadikannya najis. Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membersihkan pakaiannya dari kotoran-kobtoran yang najis.

Simak penjelasan yang penuh manfaat ini pada menit ke-19:45

Download mp3 Kajian Tentang Bab Thaharah


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48533-bab-thaharah/